Membahas mengenai Kekuasaan didalam Organisasi
a) Kekuasaan
Hingga saat ini tampaknya belum ada konsensus teoretik mengenai pengertian kekuasaan. Berbagai istilah kekuasaan sering digunakan secara parsial atau bahkan silih berganti seperti dalam konteks pengaruh (influence) dan otoritas (authority). Oleh Russel (1988), kekuasaan didefinisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan. Hal itu merupakan suatu konsep kuantitatif, yang penjabarannya kurang lebih sebagai berikut, “andaikan dua orang dengan keinginan yang sama, jika yang satu mencapai semua keinginan yang dicapai oleh yang lainnya, dan juga keinginan-keinginan lain, maka ia mempunyai lebih banyak kekuasaan
daripada orang yang lain itu”. Dalam konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Weber (2005) dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian kekuasaan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan adalah adanya kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu. Definisi ini menjadi pangkal tolak kebanyakan diskusi tentang konsep kekuasaan yang berkembang saat ini. Istilah kekuasaan itu sendiri mengambil dari bahasa Inggris yaitu power meskipun akan ada banyak persepsi berbedan tentang hal itu. Apabila dihubungkan dengan situasi atau kondisi tertentu terutama dalam organisasi, maka pengertian kekuasaan dapat disebut dengan pengaruh atau otoritas.
Dalam skala besar, kekuasaan menunjuk pada suatu kapasitas seseorang (agen) untuk mempengaruhi pihak lain (target), sehingga ada persepsi bahwa kekuasaan berarti kemampuan agen untuk mempengaruhi orang yang ditargetkan atau kemampuan agen untuk mempengaruhi orang lain yang ditargetkan. Ditinjau dari sudut pandang kemampuan agen, kekuasaan dapat dimaknai sebagai potensi agen dalam memberikan pengaruh yang lebih banyak dibandingkan dengan sejauh mana target tersebut mempuyai pengaruh terhadap agen. Bahkan pendapat Gary Yukl (1994) pun mendefinisikan kekuasaan sebagai pengaruh potensial dari seorang agen terhadap sikap dan perilaku yang ditetapkan dari satu orang atau lebih yang ditargetkan. Fokus definisi tersebut adalah tentang pengaruh terhadap orang, dan menempatkan kemampuan untuk mempengaruhi keputusan, peristiwa-peristiwa, serta hal-hal yang dianggap sebagai sebuah aspek dari kekuasaan. Bahkan, untuk beberapa konteks, pengertian kekuasaan juga lebih diarahkan pada sesuatu yang „kotor‟ (power tends to corrupt), meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini cara-cara atau ide-ide untuk memperoleh kekuasaan telah mulai lebih dapat diterima oleh masyarakat luas. Misalnya, dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung dan terbuka untuk menghindari kesan „kotor‟. Kekuasaan semacam ini biasanya terkait dengan bidang politik karena politik biasanya menyangkut masalah kekuasaan. Kekuasaan di dalam organisasi merupakan salah satu kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta menyusun dan merencanakan sesuatu hal agar dapat menjadi kenyataan. Aspek kerja dalam organisasi pada konteks ini, tidak dapat dilaksanakan tanpa kemampuan tersebut, sehingga seorang manajer yang berkiprah pada bidang tertentu, perlu memahami penggunaan sumber daya yang ada beserta manusianya. Dalam sudut pandang lainnya, kekuasaan dapat dianggap sebagai hal potensial dari adanya sebuah pengaruh. Dengan istilah potensi tersebut berarti kekuasaan dapat muncul atau tidak muncul, untuk diterapkan. Apabila seseorang ingin memanfaatkan pengaruhnya, maka kekuasaan tersebut akan muncul. Oleh karena itu, pengaruh pada umumnya lebih kecil ruang lingkupnya dibandingkan dengan kekuasaan. Berbeda dengan otoritas (authority) yaitu bentuk khusus dari kekuasaan yang langsung melekat pada jabatan yang diduduki oleh seorang pemimpin. Otoritas merupakan suatu kekuasaan yang dilegalisasikan (disahkan) oleh aturan yang formal yang ada dalam sebuah organisasi.
Kekuasaan dapat disebut juga dengan kekuatan, otoritas, pengaruh untuk mengatur dan mengarahkan pengikutnya. Kekuasaan yang diperolehnya dapat berasal dari diri sendiri maupun diperoleh secara formal. Dengan demikian seorang manajer suatu perusahaan misalnya, berhak memerintah anak buahnya untuk mengerjakan sesuai dengan yang diinginkannya. Di samping itu, seorang manajer atau pemimpin juga dapat mempengaruhi bawahannya. Bawahan yang dipengaruhi dapat juga menentukan sikapnya, misalnya tidak mau dipengaruhi oleh pimpinannya. Hanya jika pengaruh dikaitkan dengan tugas yang diberikan pimpinannya maka - mau tidak mau -ia pun harus mematuhi pengaruh tugas tersebut. Perlu dipahami bahwa kekuasaan seorang pemimpin dapat bersumber dari hal-hal berikut (1) kemampuan untuk mempengaruhi orang lain; (2) sifat dan sikapnya 'unggul' sehingga mempunyai kewibawaan terhadap pengikutnya; (3) memiliki informasi, pengetahuan dan pengalaman luas dan lebih banyak; serta (4) pandai bergaul dan berkomunikasi, serta
Hingga saat ini tampaknya belum ada konsensus teoretik mengenai pengertian kekuasaan. Berbagai istilah kekuasaan sering digunakan secara parsial atau bahkan silih berganti seperti dalam konteks pengaruh (influence) dan otoritas (authority). Oleh Russel (1988), kekuasaan didefinisikan sebagai hasil pengaruh yang diinginkan. Hal itu merupakan suatu konsep kuantitatif, yang penjabarannya kurang lebih sebagai berikut, “andaikan dua orang dengan keinginan yang sama, jika yang satu mencapai semua keinginan yang dicapai oleh yang lainnya, dan juga keinginan-keinginan lain, maka ia mempunyai lebih banyak kekuasaan
daripada orang yang lain itu”. Dalam konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Weber (2005) dijelaskan bahwa ada beberapa pengertian kekuasaan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan adalah adanya kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada termasuk dengan kekuatan atau tanpa menghiraukan landasan yang menjadi pijakan kemungkinan itu. Definisi ini menjadi pangkal tolak kebanyakan diskusi tentang konsep kekuasaan yang berkembang saat ini. Istilah kekuasaan itu sendiri mengambil dari bahasa Inggris yaitu power meskipun akan ada banyak persepsi berbedan tentang hal itu. Apabila dihubungkan dengan situasi atau kondisi tertentu terutama dalam organisasi, maka pengertian kekuasaan dapat disebut dengan pengaruh atau otoritas.
Dalam skala besar, kekuasaan menunjuk pada suatu kapasitas seseorang (agen) untuk mempengaruhi pihak lain (target), sehingga ada persepsi bahwa kekuasaan berarti kemampuan agen untuk mempengaruhi orang yang ditargetkan atau kemampuan agen untuk mempengaruhi orang lain yang ditargetkan. Ditinjau dari sudut pandang kemampuan agen, kekuasaan dapat dimaknai sebagai potensi agen dalam memberikan pengaruh yang lebih banyak dibandingkan dengan sejauh mana target tersebut mempuyai pengaruh terhadap agen. Bahkan pendapat Gary Yukl (1994) pun mendefinisikan kekuasaan sebagai pengaruh potensial dari seorang agen terhadap sikap dan perilaku yang ditetapkan dari satu orang atau lebih yang ditargetkan. Fokus definisi tersebut adalah tentang pengaruh terhadap orang, dan menempatkan kemampuan untuk mempengaruhi keputusan, peristiwa-peristiwa, serta hal-hal yang dianggap sebagai sebuah aspek dari kekuasaan. Bahkan, untuk beberapa konteks, pengertian kekuasaan juga lebih diarahkan pada sesuatu yang „kotor‟ (power tends to corrupt), meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini cara-cara atau ide-ide untuk memperoleh kekuasaan telah mulai lebih dapat diterima oleh masyarakat luas. Misalnya, dalam hal pemilihan kepala daerah secara langsung dan terbuka untuk menghindari kesan „kotor‟. Kekuasaan semacam ini biasanya terkait dengan bidang politik karena politik biasanya menyangkut masalah kekuasaan. Kekuasaan di dalam organisasi merupakan salah satu kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, serta menyusun dan merencanakan sesuatu hal agar dapat menjadi kenyataan. Aspek kerja dalam organisasi pada konteks ini, tidak dapat dilaksanakan tanpa kemampuan tersebut, sehingga seorang manajer yang berkiprah pada bidang tertentu, perlu memahami penggunaan sumber daya yang ada beserta manusianya. Dalam sudut pandang lainnya, kekuasaan dapat dianggap sebagai hal potensial dari adanya sebuah pengaruh. Dengan istilah potensi tersebut berarti kekuasaan dapat muncul atau tidak muncul, untuk diterapkan. Apabila seseorang ingin memanfaatkan pengaruhnya, maka kekuasaan tersebut akan muncul. Oleh karena itu, pengaruh pada umumnya lebih kecil ruang lingkupnya dibandingkan dengan kekuasaan. Berbeda dengan otoritas (authority) yaitu bentuk khusus dari kekuasaan yang langsung melekat pada jabatan yang diduduki oleh seorang pemimpin. Otoritas merupakan suatu kekuasaan yang dilegalisasikan (disahkan) oleh aturan yang formal yang ada dalam sebuah organisasi.
Kekuasaan dapat disebut juga dengan kekuatan, otoritas, pengaruh untuk mengatur dan mengarahkan pengikutnya. Kekuasaan yang diperolehnya dapat berasal dari diri sendiri maupun diperoleh secara formal. Dengan demikian seorang manajer suatu perusahaan misalnya, berhak memerintah anak buahnya untuk mengerjakan sesuai dengan yang diinginkannya. Di samping itu, seorang manajer atau pemimpin juga dapat mempengaruhi bawahannya. Bawahan yang dipengaruhi dapat juga menentukan sikapnya, misalnya tidak mau dipengaruhi oleh pimpinannya. Hanya jika pengaruh dikaitkan dengan tugas yang diberikan pimpinannya maka - mau tidak mau -ia pun harus mematuhi pengaruh tugas tersebut. Perlu dipahami bahwa kekuasaan seorang pemimpin dapat bersumber dari hal-hal berikut (1) kemampuan untuk mempengaruhi orang lain; (2) sifat dan sikapnya 'unggul' sehingga mempunyai kewibawaan terhadap pengikutnya; (3) memiliki informasi, pengetahuan dan pengalaman luas dan lebih banyak; serta (4) pandai bergaul dan berkomunikasi, serta
Komentar
Posting Komentar